Kerajaan Sriwijaya yang Menyebarkan Budaya Melayu

Ukiran Melayu Berbentuk Tumbuhan
Sentuhan Sriwijaya pada budaya Melayu memang tidak dapat dipungkiri lagi. Pada awalnya cikal bakal Kemelayuan muncul dari Kerajaan Melayu yang ada di Sungai Batang Hari, Jambi. Pada tahap selanjutnya kerajaan Kerajaan Melayu menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.

Dibawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya adat Melayu justru semakin berkembang. Raja-raja Sriwijaya senang dengan puisi-puisi dan pantun-pantun Melayu. Selain itu orang-orang Melayu juga yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya sudah berkembang dan menyebar membawa kebiasaan dan adat Melayu.

Selain lokasi Kerajaan Sriwajaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan yang merupakan bagian dari budaya Melayu. Bukti-bukti lain berupa artepak seni, rumah adat, seni ukir dan juga bahasa telah menggambarkan Melayu dilahirkan dari rahim Kerajaan Melayu dan dibesarkan dan disebarkan Kerajaan Sriwijaya tetapi juga mendapatkan sentuhan dari Islam.

Catatan sejarah penulis Tiongkok,  I-tsing,  Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat.

Ukiran Rumah Adat Komering
Mulainya tumbuh Kerajaan Sriwijaya  sekitar tahun 500. Mulainya berkembang  di wilayah sekitar Palembang, Sumatera Selatan. Pengaruhnya kerajaan ini semakin meluas meliputi sebagian besar Nusantara plus Semenanjung Malaysia dan Filipina.

Kerajaan yang menjadi cikal bakal Melayu tua ini menjadi sponsor utama penyebaran budaya dan bahasa melayu. Peran Kerajaan Sriwijaya dalam memperluas budaya melayu jauh lebih besar dari pada kerajaan-kerajaan yang mengklim sebagai kerajaan melayu di seperti Kerajaan Melayu di semenanjung melayu dan Kerajaan Kedah.

Pada masa itu Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9.

Rumah Melayu Sumatra
Pada masa yang sama, agama Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan Melaka.

Pada masa kejayaannya Kerajaan Sriwijaya juga banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi.

Kombinasi berbagai budaya global yang diterima Sriwijaya telah membentuk sebuah budaya Melayu dari mulai bahasa, tulisan, ukiran, rumah adat, tarian dan sebagainya.

Sayangnya kekuasaan Sriwijaya merosot yang dimulai pada abad ke-11. Kerajaan Sriwijaya mulai ditaklukkan oleh berbagai kerajaan lain. Salah satunya adalah Kerajaan Singosari (Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan Majapahit. Malangnya, sejarah Asia Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan laporan dari orang luar (asing), prasasti dan penemuan arkeologi, artifak seperti patung dan lukisan, dan hikayat.

Motif kain Melayu Lampung juga berupa tumbuhan
Salah satu penyebab merosotnya kekuasaan Sriwijaya adalah akibat kekalahan perdagangan internasionalnya. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Kehilangan monopoli ini menyebabkan kemegahan Sriwijaya menurun dan kekuatan militer melemah. Wilayah-wilayah yang jauh dari kekuasaan mulai melepaskan diri. Salah satunya adalah Kerajaan Singasari yang sebelumnyha berada di bawah naungan Sriwijaya.

Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah Majapahit.


Pakaian ada Melayu Sumatra
Dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa, Kerajaan Minanga takluk di bawah pemerintahan Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan.

Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.

Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan aksi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Motip Abstrak Bunga (Tumbuhan)
Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.

Motif abstral non tumbuhan dan non hewan
Di abad ke-7, pelabuhan Cham (Champa) di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan di abad yang sama.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Bagian depan rumah adat Melayu
Di abad ke-9, wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera, Sri Lanka, Semenanjung Malaya, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut, kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang hebat hingga abad ke-13.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah memperluas pengaruh politik, sosial, budaya dan ekonomi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Vietnam Selatan. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Minanga merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini, memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke-11.

Di tahun 902, Sriwjaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dengan Arab yang memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan.

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari ingatan masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.

Berdasarkan Hikayat Melayu, pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang, keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan, gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan, dan segenap bangsa Melayu.

Terlihat pergaulan dan hubungan global Sriwijaya yang mempunyai kekuatan maritim telah mewarnai budaya yang ada pada budaya Sriwijya pada masa itu. Akulturisasi Sriwijaya inilah yang akhirnya membentuk budaya Melayu kuno, dan kemudian semakin mewarna setelah pengaruh Islam juga masuk.

Bagi penduduk Palembang yang masa lalunya merupakan pusat dari Sriwijya, keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan dan Malaysia yang menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya melayu Sriwijaya, walaupun pada akhirnya Malaysia merasa lebih malayu dari pada Indonesia yang sebenannya tempat lahirnya budaya melayu itu sendiri.

Sampai sekarang semua wilayah bekas kekuasaan Sriwijaya telah berbekas adat Melayu baik secara adat masyarakatnya, bahasa dan tulisan Arab Melayu. Selain itu kekhasan Melayu juga ada pada pantun, puisi-puisi tradisional, peribahasa lokal, syair, gurindam, karmina, hikayat, seloka, mantra-mantra, dan kisah-kisah roman.

Jika ditelusuri budaya Melayu itu sangat kuat dan ada pada wilayah-wilayah meliputi semua kelompok etis Austronesia, semenanjung Malaya (Malaysia), seluruh Sumatra, Thailand bagian selatan, Brunai, Singpura, Burma, Kalimantan Barat, Serawak (Malaysia), Sabah (Malaysia) dan Filipina bagian selatan. Semua wilayah yang disebutkan diatas pernah menjadi bagian dari Kedinastian Sriwijaya. 

Sumber Pustaka:
- www.sumselprov.go.id
- id.wikipedia.org

Photografer : Zahra R.