Masjid Agung Palembang Berubah Nama Menjadi Masjid Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo

Masjid Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo.
Masjid Agung Palembang yang sekarang berubah nama menjadi Masjid Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo berada pada posisi sentral dari Kota Pelembang. Masjid tertua ini adalah masjid yang menjadi kebanggaan warga Pelembang dan Sumatra Selatan.

Sejarah panjang pada masjid ini telah menjadi satu dengan ikon Kota Pelembang yang dinamis dan terbuka. Hal ini terlihat dari corak dan arsitektur masjid yang indah ini.

Sebenarnya pada masa awal pendirian masjid ini didirikan oleh Ki Gedeh Ing Suro (Sultan Palembang)  anak dari Ki Gede Ing Lautan pada Abad ke-16 di Keraton Kuto Gawang, tetapi karena pada saat perlawanan melawan rakyat Palembang dengan Inggris masjid tersebut terbakar, sehingga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo tahun 1738 M masjid ini dibangun  kembali dengan bentuk dan tempat yang berbeda.

Langit-langit Masjid Agung Palembang sentuhan Arab.
Ki Gede Ing Suro selain sebagai pembangun Masjid Sultan yang pertama beliau juga adalah pendiri dari Kesultanan Palembang Darussalam yang pertama. 

Saat ini makam Ki Gede Ing Suro ada di Ayahnya Ki Gede Ing Suro, Ki Gede Ing Lautan adalah salah satu keturunan dari  Raden Fatah yang ikut pindah dari Kesultanan Demak ke Swarnadwipa (Sumatra) akibat pergolakan politik di Demak.

Dinasti pertama dari Kerajaan Demak yaitu Raden Fatah adalah bagian dari keturunan Raja Majapahit, yaitu Brawijaya V dari pernikahannya dengan Putri Champa. Setelah Raden Fatah mangkat digantikan dengan Pati Unus, dan Pati Unus diganti oleh Pangeran Trenggono.  

Bagian dalam ada  tiang sentuhan budaya Jawa
Setelah keturunan yang ketiga ini wafat. Kesultanan Demak menjadi kisruh, akibat perebutan kekuasaan antara Pangeran Prawata putra Pangeran Trenggono dengan Pangeran Seda Ing Lepen.  Di lain sisi kelemahan Kesultanan Demak ini menjadi kesempatan Jaka Tingkir, Adipati penguasa Pajang, untuk melakukan serangan.

Kekisruhan ini menyebabkan 24 orang bangsawan Demak migrasi ke Palembang.  Di Palembang Ki Gede Ing Lautan mulai merintis kekuasaan dan pada masa Ki Gede Ing Suro inilah Kesultanan Palembang dibentuk dengan membangun istana dan Masjid Sultan.  Masjid yang pertama diperkirakan dibangun di sekitar PT. Pusri. 

Pada tahun 1659 terjadi peristiwa besar antara Sultan Mahmud Badaruddin I dengan VOC Belanda. Dalam pertempuran di Kota Palembang masjid ini sempat dibakar oleh tentara kompeni VOC sehingga masjid ini jadi rusak.

Istana Sultan Mahmud Badaruddin I, Keraton Kuto Gawang juga dihancurkan oleh tentara kompeni VOC. Keraton ini merupakan sebuah benteng yang luas dengan ukuran  1093 meter x 1093 meter. Tinggi dinding beton yang mengitarinya sampai 7,25 meter. Demikian besarnya benteng Sultan Mahmud Badaruddin I sehingga ketika itu Palembang disebut juga sebagai Kota Benteng.

Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo terpaksa mundur ke  Beringin Janggut (Jalan Segaran sekarang). Daerah ini paling dianggap aman oleh Sultan karena berada disekeliling sungai-sungai besar, yaitu Sungai Musi, Sungai Rendang, Sungai Tengkurak dan Sungai Penedan.

Pada tahun 1738 direncanakan lagi pengganti masjid yang terbakar dengan masjid yang baru oleh Sultan Mahmud Badarrudin Jayo Wikramo. Pembangunan Masjid Sultan yang kedua ini dimulai pada 1 Jumadil Akhir 1151 H (1738 M). Masa pembangunannya cukup panjang dengan empat budaya yang ada dalam arsitektur dan ornamen dalam masjid yang indah itu. 

Pada tahun 1999 renovasi dilakukan oleh Gubernur Laksamana Muda Haji Rosihan Arsyad dengan perbaikan disana-sini dan menambah beberapa bagian masjid yang bersejarah ini.

Pada bagian dalam masjid ini ada pokok-pokok tiang masjid denga gaya masjid di Jawa. Arsitektur bergaya Eropa terlihat pada pintu dan jendela yang terkesan seni art deco. Pada bagian atap atas bangunan akan terasa seni bangunan China. Pada ukiran dan relief didinding dan pintu bernuansa khas Melayu. Perpaduan budaya pada masjid ini menunjukkan sikap terbuka, toleran dan dinamis yang merupakan ciri dari masyarakat Sumatra Selatan yang demokratis tetapi tetap religius dalam prinsif hidupnya.

Photografer : Yogga Y.

#TheIndonesiaAdventure
The Indonesia Adventure Team Writter