Layangan Kaghati Permainan Tradisional Nusantara Sejak Masa Mesolitikum

Layang-layang adalah permainan yang sudah sangat populer di seluruh dunia. Ada juga yang menyebutnya dengan layangan dan ada juga dengan sebutan wau (bahasa Melayu). Di Jawa Barat  orang Sunda menyebutnya dengan langlayangan, orang Betawi menyebutnya dengan kaong, dan banyak lagi istilah untuk layangan ini di Indonesia. Penyebutan ini berbeda sesuai dengan tempatnya.

Anak-anak sedang bermain layangan di atas loteng rumah
 

Pada dasarnya layang-layang adalah berupa bambu atau jenis kerangka yang kuat yang dilapisi kertas atau kain yang lebar dan dapat menampung hembusan angin sehingga dapat terbang dan naik keudara dengan kendali berupa benang. Bambu menjadi komponen penting sebagai kerangka untuk menahan bentuk struktur layangan yang berinteraksi oleh arus angin dan juga kendali pemain layangan.  

Liburan atau akhir pekan merupakan waktu yang paling menyenangkan bagi anak-anak bahkan juga orang dewasa untuk bermain layangan. Apalagi disaat musim kemarau dengan angin kencang adalah waktu yang tepat untuk bermain layang-layang.

Seorang anak bermain layangan yang menggunakan buntut sebagai stabilisator
 

Pengembangan layang-layang ini menampilkan struktur sayap yang tampak unik itu dipengaruhi oleh layar kapal  dari Nusantara yang terkenal sudah ada sebelum masa Masehi. Bangunan ini rupanya bermigrasi ke Malaysia dan menjadi dasar dari layang-layang wau mereka yang sangat indah, dimulai dengan wau merak dari provinsi Johor.

Tradisi tersebut berlanjut hingga hari ini karena kerajinan pembuatan layang-layang juga menjadi ajang seni dan kreatifitas yang mencerminkan kedalaman seni dan keahlian yang menjadi ciri artistik di negara yang unik ini.

Jika menggali sejarah tentang layang-layang di Nusantara yaitu dari lukisan di goa masa mesolitikum berupa gambar layang-layang kaghati. Umur lukisan di batu gua yang ada di Sulawesi Tenggara tersebut telah ada sejak 9500-9000 tahun SM.

Penemuan gambar di Goa Kobari itu terjadi pada tahun 1996, oleh seorang bernama La Hada yang saat  ini menjadi juru pelihara Kompleks Goa Kobori. Penemuan lukisan tersebut berjumlah 18 lukisan di dinding gua dari batu cadas. Posisi lukisan tersebut pada ceruk Sugi Patani yang berjarak 700 meter dari Kompleks Kobori dan 250 meter di atas permukaan laut. Secara administratif Goa Kobari berada di Desa Liangkobari, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

Lukisan pada dinding flapon ceruk goa tersebut berwarna coklat kemerahan dalam bentuk figur manusia yang sedang bermain layang-layang. Bentuk manusia dan layang-layang sangat jelas, tetapi gambar wajah dari pemain layang-layang tidak seberapa jelas dan misteri. Dari goresan lukisan tersebut diperkirakan hasil dari kuasan jari tangan.

Penemuan lukisan layang-layang di gua itu juga dipublis dalam penelitian dan analisis seorang Jerman bernama Wolfgong Bick. Ia adalah Consultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography terkait jenis laying-layang tertua di dunia pada tahun 1997.  Dalam tulisannya Wolfgong menjelaskan bahwa masyarakat di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara sudah memiliki budaya untuk menerbangkan layang-layang yang dinamakan Kaghati Kolope sudah sejak ribuan tahun lalu.

Hasil temuannya tersebut kemudian dipublikasikan pada sebuah artikel berjudul “The First Kiteman” yang dimuat dalam sebuah majalah di Jerman pada tahun 2003 silam.

Mungkin gambar-gambar kuno ini menggambarkan layang-layang yang digunakan dalam aktivitas-aktivitas awal mereka yang paling tua, seperti memancing dan spritual keagamaan. Masyarakat Muna juga menggunakan layang-layang kaghati pada saat menyambut panen raya untuk merayakan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Selain di Muna di Sulawesi Selatan, permainan layang-layang juga sudah menjadi tradisi di Mandar, Sulawesi Barat. Nama layang-layang disini disebut dengan layang-layang lake yang juga biasa dimainkan setelah selesai panen raya.  Saat ini tradisi permainan ini telah menjadi agenda rutin berupa gelaran Festival Layang-layang Lake yang biasa di selenggarakan pada bulan Agustus.

Orang-orang Suku Mandar juga termasuk berjiwa maritim yang kuat dan terkenal di Nusantara karena kemampuan untuk membuat kapal dan berlayar ke banyak negeri.  Budaya bermain layang-layangnya tidak terlepas dari kemampuan maritim yang ada. Layangan jenis lake dari Mandar ini diterbangkan selagi ada angin musim timur yang berhembus dari Benua Australia yang sedang dingin ke Benua Asia yang sedang musim panas dan kemarau. Adanya angin ini juga digunakan untuk berlayar ke arah utara mengikuti arah angin menggunakan kapal layar.

Di Sumatra sejarah tentang layang-layang terkait erat dengan sejarah Melayu di Nusantara.Tulisan tetang permainan layang-layang dalam sebuah Festival Layang-Layang yang dicatat dalam Sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) pada abad ke-17. Para peserta dalam acara tersebut adalah para pembesar kerajaan.

Di Sumatra permainan layang-layang juga berkembang pada budaya Melayu sejajar dengan budaya maritim yang ada pada masa banyak perdagangan  yang terjadi dikawasan Pasai Aceh, Selat Malaka, Kepulauan Riau, Jambi,  Sumatra Selatan dan  Lampung. Dari wilayah ini juga kemudian menyebar ke Semenanjung Melaya dan Tumasik (Singapura) dibawa oleh pedagang-pedagang dari Selat Malaka ke berbagai penjuru nusantara. Dari Selat Malaka ini juga para penjelajah Portugis dan Spanyol membawanya ke Benua Eropa dan Amerika.

Di Sumatra Barat permainan layang-layang di lakukan oleh pemuda yang ingin memikat hati seorang gadis, mereka membuat layang-layang yang paling indah dan juga bisa bersuara dengan menggunakan seutas tali rapia yang di bentangkan antara dua sisi bambu yang melengkung. Utasan tali akan bergetar saat berada diudara dan menghasilkan suara yang berdengung.

Di Bali permainan layang-layang tidak hanya sekedar permainan saja, tetapi juga sangat sarat dengan ritual dan kepercayaan, sebagai contoh sebuah layang-layang sebelum diterbangkan diberi sesaji dan layang-layang yang sudah diritualkan itu menjadi benda sakral. Tradisi menerbangkan layang-layang di Bali disebut dengan Rare Angon. Rare Angon adalah seorang dalam tokoh pewayangan dan merupakan wujud dari putra Dewa Siwa.

Ada banyak macam layang-layang di Bali yang dibuat dengan berbagai kreatifitas seni, hal ini dapat kita lihat pada Festival Layang-Layang di Bali. Ada yang berbentuk biasa, tetapi juga ada yang berbentuk binatang, binatang mitos, berbentuk tiga dimensi dan segainya dengan corak warna warni yang indah yang dibuat dengan cara gotong royong. Gairah kebersamaan ini menyebabkan acara Festival Layang-Layang di Bali adalah saat yang paling ditunggu-tunggu warga Bali dan para wisatawan.

Ada beberapa jenis layang-layang di Bali, seperti jenis layang bebean yang berbentuk seperti ikan, layangan jangan berbentuk seperti naga dengan ekor yang panjang, layangan jangan buntut yaitu layangan naga yang tidak berekor dan layangan pecukan berbentuk seperti bulan sabit yang ujung-ujungnya mengarah kebawah. Layangan pecukan biasanya menggunakan suara gaung karena ditambah dengan rentangan seutas tali atau bilah bambu tipis yang dapat bergetar dan bersuara saat terkena arus angin. 


Sumber Referensi:

- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/kaghati/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Layang-layang
- http://en.gocelebes.com/kaghati-worlds-first-kite/
- http://www.asahi-net.or.jp/~ET3M-TKKW/scrap-11.html




Tag : Layang-layang, layangan, bermain layangan, kaghati, Muna Sulawesi Selatan, layangan Muna, Sulsel, layangan Sulawesi Selatan