Bagaimana Tradisi Hari Raya Idul Fitri pada Masa Hindia Belanda?

Saat lebaran tiba maka ajang silahturahmi dimulai. Kesempatan untuk bertemu sanak saudara, handai toulan, kerabat dan tetangga ini sangat dinanti-nanti untuk tetap menjaga rasa perhatian dan kasih sayang antar sesama. 


Perayaan Hari Raya Idul Fitri pada masa Hindia Belanda.


Sebuah seremoni yang menciptakan kebahagiaan tersendiri, karena memenuhi hasrat rasa kangen dan rindu. Rasa bahagian inilah yang menyebabkan rasa capai mudik tidak terasa dan tetap dilakukan setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri. 


Pulang ke kampung halaman bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi tradisi masa sekarang, tetapi juga jauh pada masa Hindia Belanda, bahkan juga sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara.


Hal ini digambarkan dalam konten dari Channel Album Sejarah Indonesia dengan judul "Lebaran Masa Kolonial" yang menggambarkan bagaimana perayaan lebaran masyarakat masa Hindia Belanda.


Orang Belanda menyebut hari lebaran atau Hari Raya Idul Fitri ini dengan sebutan  "Inlands Nieuewjaar" yang dalam bahasa Indonesia berarti "Tahun Baru Pribumi". Pemerintah Kolonial juga memberikan dua hari libur disaat Hari Lebaran


Pada masa itu tradisi lebaran sama dengan  tradisi lebaran saat ini. Hari yang istimewa yang selalu dinanti-nanti dengan hidangan makanan yang istimewa, menggunakan baju baru dan saling bertandang satu sama lain. 


Untuk mudik walaupun tidak semasif saat ini, tradisi mudik juga sudah ada pada masa lalu. Namun karena moda transfortasi yang tersedia masih sangat terbatas, maka tradisi mudik hanya terbatas pada jarak yang tidak sejauh sekarang ini, dan hanya terbatas pada kalangan tertentu.


Bagaimana tradisi lebaran pada masa Hindia Belanda ini digambarkan dalam tulisan tulisan Snouck Hurgronje dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Direktur Pemerintah Dalam Negeri yang bertanggal 20 April 1904.


Salah satu bagian tulisan suratnya, yaitu: "Dimana-mana perayaan pesta ini disertai dengan hidangan makanan yang khusus..." . Bagian yang lain juga ia menulis: "saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan."


Snouck mencatat juga dalam suratnya; "kebiasaan saling berkunjung dan mengenakan pakaian baru pada hari lebaran mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa." 


Bagian catatan lainnya; "karena itu perayaan ini di kalangan bangsa Eropa seringkali keliru disebut Tahun Baru Pribumi."


Tulisan surat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 - 1939 Jilid IV. Pada masa itu tahun 1904 Snouck menjabat sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda.


Saat perayaan Idul Fitri bukan hanya kalangan rakyat jelata pribumi saja yang merayakannya, tetapi juga pada kalangan para priyayi, pamong praja bahkan juga pejabat pribumi Bupati dan pejabat Belanda ada kalanya diundang dan ikut serta dalam perayaan tersebut. 


Walaupun ada sebagian pejabat Belanda yang tidak setuju dengan tradisi lebaran ini yang dianggap pemborosan dan menyarankan perlunya ada pembatasan pada tradisi lebaran ini, tetapi Snouck berpendapat membatasi perayaan lebaran di segala lapisan orang lokal bukanlah tindakan yang tepat.


Snouck menulis; "Lebaran memang sudah menjadi perayaan keagamaan yang istimewa bagi pribumi." Snouck menyarankan pejabat Belanda atau siapapun saja yang bertugas di Hindia Belanda untuk memberikan penghormatan kepada perayaan tersebut.


Salah satu seniman musik legendaris Ismail Marjuki pernah membuat sebuah lagu dengan judul "Hari Lebaran" yang memiliki lirik yang cukup jenaka.


"Dari segala penjuru mengalir ke kota.

Rakyat desa berpakaian baru serba indah.

Setahun sekali naik trem listrik pere

Hilir mudik jalan kaki pincang sampe sore.

Akibatnya tenteng selop sepatu terompeh.

Kakinya pada lecet babak belur berabe.

Maafkan lahir dan batin..."


The Indonesia Adventure