Hari Pahlawan, Perjuangan Raden Intan II dibalik Kisah Tugu Raden Intan II Bandar Lampung

Tugu Raden Intan II terlihat gagah

Lampung sebagai daerah transit yang strategis dan menjadi bandar dari lalulintas transportasi darat dan laut antara Pulau Sumatra - Pulau Jawa dan Pulau Sumatra - Pulau Kalimantan dan juga paulau lainnya disekitar yang terkoneksi dengan Selat Sunda dan Teluk Lampung.

Bagi yang sudah pernah menggunakan moda transportasi darat dari dan menuju Lampung tentu akan melalui Tugu Raden Intan II di bundaran jalan Lintas By Pass yang menghubungkan Jalan Lintas Sumtra menuju provinsi lain. Tugu Raden  Intan II ini juga akan dilalui bagi yang akan menuju Pulau Jawa sebelum masuk tol di Kota Baru Lampung Selatan yang mendapat akses langsung ke Kalianda.

Demikian juga bagi yang naik pesawat dan mendarat di Bandara Beranti untuk  menuju Bandar Lampung, tentu akan melalui Tugu Raden  Intan II juga.

Untuk masuk ke Kota Bandar Lampung melalui Gerbang Selamat Datang ke Bandar Lampung juga akan melalui Tugu Raden Intan II yang tepat berada disentral dari bundaran dari tempat yang sangat strategis tersebut.

Itulah penghargaan dari masyarakat Lampung terhadap perjuangan dari Raden Intan I (Kakek Raden Intan II), Raden Imba atau juga disebut Radin Inten Kesuma II (Ayah Raden Intan II) dan Raden Intan II yang secara ulat dan teguh berjuang melawan penjajahan Belanda yang berusaha mencengkramkan kukunya di wilayah Nusantara.

Tugu Raden Intan II di Bundaran Raja Basa
Raden Intan I masih keturunan dari Fatahillah (Sultan Syarif Hidayatullah yang adalah seorang raja Mataram Islam, biasa juga dipanggil Sunan Gunung Jati) yang menikah dengan Putri Sinar Alam yang merupakan anak dari Minak Raja Jalan Ratu (Bangsawan Keratuan Pugung – Lampung Tumur sekarang). Dari perkawinan itu lahirlah Muhammad Aji Saka putra (Glr. Ratu Darah Putih) dan mendirikan Keratuan Darah Putih.

Perjuangan yang konsisten dan terus menerus itu telah mamantapkan Lampung sebagai daerah merdeka dari penjajahan Belanda sejak tahun 1751 - 1856. Dua abad lamanya Keratuan Lampung diakui dan ditakuti dan disegani oleh Gubernur Jenderal Belanda, H.W. Daendels. Keseganan Daendels untuk tidak buru-buru mengurus Lampung karena sejak perjuangan Raden Intan I, Keratuan Lampung telah membangun benteng-benteng di Raja Gepeh, Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, Sakti, Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan dengan kekuatan yang besar yang kemungkinan mampu mengalahkan kapal-kapal Belanda dan prajurit-prajurit  Belanda.  Ketakutan Daendels disampaikan dari surat yang ditulisnya di Batavia untuk disampaikan ke dilaporkan langsung ke pemerintah di Nederland.  

Tugu Raden Intan II dari samping
Ketakutan Daendels ini menyebabkan Keratuan Lampung menjadi prioritas ke tiga yang akan dijatuhkan Belanda setelah, prioritas pertama yaitu Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung yang berencana merebut Batavia dan prioritas kedua melumpuhkan perjungan Pangeran Diponegoro.

Pada tahap awal pergerakan perjuangan rakyat di Lampung dimulai dengan Gubernur Jenderal Daendels  mengirimkan sebuah misi perdagangan ke Lampung untuk memastikan bahwa apakah wilayah Lampung benar-benar masih berada pada kekuasaan Sultan Haji dari Kesultanan Banten ataukah penyerahan VOC pada Kesultanan Banten sesuai dengan Piagam Perjanjian tertanggal 27 Agustus 1682 yang intinya pengawasan perdagangan rempah-rempah wilayah Lampung diserahkan ke VOC dari Kesultanan Banten. Penyerahan ini sebagai konsensi Belanda yang sudah mendukung perubahan kepemimpinan Kesultanan Banten yang berhasil melengserkan Sultan Agung Tirtayasa.

Raden Intan II dijadikan nama bandara
Hasil dari Ekspedisi Vander Schuur tersebut menggambarkan bahwa wilayah Lampung bersifat mandiri pasca lengsernya Sultan Agung Tirtayasa. Para saudagar di wilayah Lampung tidak tunduk kepada Sultan Haji  yang koperatif terhadap Belanda, tetapi masih tetap setiap kepada Sultan Agung Tirtayasa yang anti terhadap kolonialisme Belanda. Hasil misi itu juga menyampaikan bahwa kekuasaan berada pada beberapa kekuasan daerah, salah satunya adalah Keratuan Lampung yang pada saat itu dipimpin oleh Raden Intan I.

Belanda melalui VOC ingin mengokohkan kekuasaannya di wilayah Lampung. Rencana penyerangan besar itu terjadi pada beberapa gelombang di masa Keratuan Lampung berdiri.

Invansi pertama terjadi pada bulan Desember 1825 yang mengirim Kapten Gezaghebber Lelievre dan Letnan Misonius  yang mendarat di Telukbetung dengan membawa 35 tentara utama Belanda  dan 7 opas.  Tentara dengan kekuatan kecil ini bergerak menuju Negara Ratu. Serangan dengan kekuatan kecil ini sangat mudah dipatahkan karena waktu itu Gubernur Jenderal Daendels di Batavia tidak mengetahui kekuatan sebenarnya dari Keratuan  Lampung yang waktu itu di Pimpin oleh Raden Intan I (Kakeknya Raden Intan II).
Pesawat Garuda di Bandara Raden Intan II
Pada masa periode ini Belanda tidak fokus untuk melakukan serangan ke Keratuan Lampung karena pada masa itu Pemerintah Hindia Belanda sedang repot-repotnya berhadapan dengan Pangeran Diponegoro  (1825 - 1830), sehingga Keratuan Lampung sangat kondusif dan sempat membangun beberapa benteng yang kuat.

Gelombang serangan berikutnya terjadi pada 8 Agustus 1832 dengan kekuatan sebanyak lima kapal setype Kapal Alexander dan Kapal Dourga. Dengan 300 tentara regular Belanda, 100 tentara bayaran yang dipimpin oleh Kapten Hoffman dan Letda Kobold. Pada saat itu Keratuan Lampung di pimpin oleh Raden Imba (Raden Intan Kesume II).

Mereka mendarat di Kalianda. Serangan ini adalah respon dari serangan Raden Imba yang menyerang kapal dagang Belanda dan kantor Keresidenan Pertama di Teluk Betung (Gudang Lelang Teluk Betung sekarang) yang dipimpin oleh Asisten Residen Belanda untuk Lampung yaitu J.A. Dubois. Atas serangan ini J.A. Dubois mengirimkan surat ke Gubernur Jenderal Daendels di Batavia.

Pertempuran pertama terjadi pada 9 September 1832 di wilayah sekitar Gunung Tanggamus, tepatnya di Teluk Semangka (Kabupaten Tanggamus sekarang). Pasukan Raden Imba mampu untuk menghadang pasukan Belanda yang dikomandoi oleh Kapten Hoffman. Akhirnya Kapten Hoofman sendiri mengalami luka parah sehingga dipulangkan ke Kaliana. Pada kesempatan pemulangan ini Raden Imba memberikan kesempatan Belanda untuk mundur.  Raden Imba memerintahkan Tentara Keratuan Lampung untuk tidak menyerang dan pasukan diperintahkan bertahan ditempat.

Kekalahan pertempuran pertama ini tidak menyebabkan Belanda merasa kalah. Pada tahap berikutnya mereka kembali melakukan penyerangan dengan pimpinan kembali dipegang oleh Kapten Hoofman dengan pasukan segar baru dari Batavia sebanyak 600 serdadu. Pasukan ini adalah pasukan regular berpengalaman masa pergolakan perlawanan Pangeran Diponegoro.

Pada peretempuran kali ini Hoofman tidak manyertakan pasukan bayaran tetapi mendapat tambahan bantuan dari para perwira regular yaitu; Letnan Neuenborger, Letnan Vicq De Cumtick, dan Letnan Huisemen. Semuanya adalah prajurit berpengalaman masa perlawanan Pangeran Diponegoro.

Misi tahap kedua Kapten Hoofman  ini kembali terjadi di Benteng Raja Gepeh disekitar Gunung Tanggamus. Dalam pertempuran ini Raden Imba berhasil mempertahanakn Benteng Raja Gepeh tetapi kehilangan 100 prajurit terbaiknya gugur. Disisi pihak Belanda 65 orang tewas  termasuk serdadu berpengalaman petempur pada masa Diponegoro, yaitu Letnan Huiseman  dan Letnan Neuenborger juga tewas.

Dari laporan kekalahan pasukan Kapten Hoofman ke Kalianda. Kembali pasukan Kapten Hoofman mendapatkan tambahan pasukan segar baru yang dipimpin oleh Kapten Beldhouder dan Kapten Pouwer.  Ternyata tambahan bantuan ini pun tidak berguna dan Belanda tetap mengalami kekalahan dan kembali mundur ke Kalianda.  Pemimpin pasukan bantuan Kapten Pouwer.dan Kapten Beldhouder juga terluka parah dan akhirnya tewas.

Dalam surat Kapten Hoofman yang dikirimkan ke Kalianda dan juga ditembuskan ke Gubernur Belanda di Batavia, ada banyak benteng yang harus ditembus Belanda, yaitu; Raja Gepeh, Pari, Bedulu, Huwi Perak, Merambung, Katimbang, Sakti, Galah Tanah, Pematang Sentok, Kahuripan, dan Salaitahunan.  Ternyata baru satu benteng Raja Gepeh saja Belanda sudah banyak mengalamai kerugian, sehingga meminta Gubernur Jenderal H.W. Daendels untuk mendapatkan perhatian.

Tidak patah arang Belanda kembali melakukan gelombang serangan berikutnya yaitu dimulai pada tanggal 23 September 1834. Kali ini serangan mendapatkan perhatian langsung dari Gubernur Jenderal Daendels dengan jumlah personil baru yang didatangkan dari Batavia. Pasukan yang semula berada di Kalianda ditarik pulang ke Batavia termasuk Kapten Hoofman. Jumlah pasukan yang baru ini sebanyak 800 pasukan serdadu regular Belanda yang dipimpin oleh 21 opsir Belanda. Peralatan juga diperbaharui dengan memperbanyak peralatan canggih.

Dalam Laporan Hoofman pasukan Belanda sulit menembus Benteng Raja Gepeh karena sudah mengadopsi cara pertempuran yang lebih profesional  bantuan Kesultanan Banten. Salah satu perwira Banten yaitu  Arya Natabraja (Mertua dari Raden Imba sendiri) seorang ahli strategi ikut berada dalam perjuangan perlawanan melawan Belanda dari sejak Raden Intan I.

Pada serangan kali ini Benteng Raja Gepeh jatuh dan dapat dihancurkan Belanda. Pasukan Raden Imba (Raden Intan Kesuma II) bersama pasukannya mundur dan meminta perlindungan ke Kesultanan Lingga (Linggau, Riau sekarang), tetapi Raja Lingga mendapatkan tekanan dan ancaman dari Belanda. Raja Lingga akhirnya terpaksa menyerahkan Raden Imba. Belanda menyingkirkan Raden Imba ke Pulau Timor sampai akhirnya meninggal disana.

Semantara Arya Natabraja berhasil keluar diam-diam tanpa sepengetahuan Raja Lingga dan Belanda. Kedepan Arya Natabraja masih akan terus membantu perjuangan Raden Intan II yang merupakan anak dari Raden Imba (Raden Intan Kesuma II).

Pada tahun 1834 pasca kekalahan Raden Imba, pola kepemimpinan wilayah Keresidenan Hindia Belanda di Lampung yang berpusat di Onder Afdeling Telokbetong (Teluk Betung sekarang)  dirubah dari sipil ke militer. Kebijakan ini dilakukan setelah terjadi perjuangan yang keras dari Raden Intan I dan Raden Imba. Dari keresidenan ini juga hasil perkebunan di Lampung berupa rempah-rempah, karet, sawit di kirim melalui Telokbetong. Perdagangan di Telokbetong kembali marak pasca pergerakan perlawanan rakyat di Lampung melawan penjajah. Selain itu juga banyak berdatangan juga para saudagar Tionghoa dari Batavia dan Pelembang yang ikut terlibat perdagangan VOC dan akhirnya banyak  menetap disana.

Setelah Raden Imba meninggal di Pulau Timor, Istrinya Ratu Mas yang masih hamil dipulangkan ke Lampung dan  kembali ke Kahuripan, Negeri Ratu. Di Kahuripan ini Ratu Mas melahirnkan Raden Intan II pada tahun 1834.  Raden Intan II dibesarkan Ratu Mas, Sepirit perjuangan Raden Intan I dan Raden Imba selalu disampaikan Ratu Mas  ke Raden Intan II.

Raden Intan II pada tahun 1850 masih sangat muda, usianya baru 15 tahun, tetapi sudah menjadi pemimpin Keratuan Darah Putih yang berpusat di Kahuripan (Lampung Selatan sekarang). Benteng-benteng yang dulu pernah dibangun ayahnya diperbaiki dan dibangun kembali yaitu di pusatnya sendiri yaitu di Kahuripan, Pematang Sentok, Salaitahunan dan Galah Tanah. Sementara Benteng Rajah Gapeh sudah jatuh ke tangan Belanda. Termasuk benteng-benteng lain yang terlalu jauh dari akses juga dibiarkan dan ditinggalkan.

Pada masa Raden Imba benteng dan kekuasaan lebih diperkuat di area pantai dan laut tetapi pada masa Raden Intan II pertahanan diperkuat di area pegunungan dan perbukitan yang sulit dicapai oleh Belanda. Kali  ini Raden Intan II memusatkan pertahanan di Gunung Rajabasa yang sudah memiliki benteng alam dan benteng-benteng militer. Ada 4 benteng yang mengelilingi Gunung Rajabasa yaitu Benteng Galah Tanah, Benteng Katimbang, Benteng Merabung, Benteng Salai Tabuhan dan Benteng Katimbang,

Raden Intan II memperluas hubungan dengan wilayah sekitarnya dan juga memperkuat kerjasama dengan masyarakat lokal di lampung seperti dengan Marga Ratu, Dataran dan Singabranta,.

Dari bantuan kakeknya Raden Intan II, Kyai Arya Natabraja, dan para pembantunya Wak Maas, dan Haji Wakhia, Raden Intan II mendapatkan akses persenjataan yang dikirim dari Kesulltanan Banten dari para pengikut Sultan Agung Tirtayasa. Peralatan juga didapat dari Inggris melalui jual beli rempah-rempah dengan Inggris yang tidak menginginkan Belanda memasuki pulau Andalas (Sumatra).

Setelah beberapa lama Belanda mengabaikan Lampung, sepak terjang Raden Intan II sudah mulai dianggap membahayakan kolonisasi Belanda khususnya di Lampung. Awalnya Belanda hanya melakukan diplomasi ke Raden Intan II agar tidak melakukan gangguan terhadap aktivitas dagang Pemerintah Hindia Belanda di Lampung. Pemerintah Hindia Belanda bahkan memberikan tawaran bantuan dan kerjasama, tetapi semuanya ditolak oleh Raden Intan II.

Serangan pertama pada masa Raden Intan II terjadi pada tahun 1851 dengan mengirimkan 400 serdadu regular dibawah komando Kapten Tuch. Dengan kekuatan ini pasukan Belanda menyerang Benteng Merambung yang berada di sebelah barat utara di bawah kaki Gunung Rajabasa. Serangan ini sanga mudah dipatahkan Raden Intan II.  Rupanya Kapten Tuch tidak menerima pelajaran dari Kapten Hoofman yang kalah di Lampung. Kapten Tuch seperti pada umumnya para perwira muda Hindia Belanda yang selalu merendahkan kemampuan militer para pejuang pribumi.

Melihat dari potensi besar  perlawanan dari Raden Intan II, Belanda merubah siasat Belanda mengusulkan perdamaian dengan Raden Intan II syaratnya Raden Intan II tidak melakukan serangan  terhadap kepentingan dan asset Belanda di Lampung.

Awalnya ide perdamaian ini diterima oleh Raden Intan II, tetapi pada tahun 1955 Raden Intan II merasa ditipu dan kembali melakukan penyerangan terhadap objek kepentingan Belanda di Telokbetong dan sekitarnya. Adminitrasi Keresidenan dan perdagangan di Telokbetung terhenti, para pejabat Belanda di ungsikan.

Kemudian pada tahun 1856  bantuan besar-besaran dari Batavia ke Lampung dikirim. Pasukan Belanda tidak langsung ke daratan, berkaca pada serangan awal yang dengan mudah dipatahkan, tetapi memilih untuk menguasai dulu sebuah Pulau Sikepal di Teluk Tanjung Tua (Bakauheni, Kalinda, Lampung Selatan sekarang).

Kepemimpinan invasi ini dikepalai oleh Kolonel Walleson, dibantu oleh beberapa perwira penting Belanda yaitu Mayor Nauta, Mayor Van Oostade, dan Mayor AWP Weitzel. Terlihat dari ukuran kepangkatan para perwira yang masuk ke Lampung ini menunjukkan Belanda tidak menganggap lagi main-main atas perjuangan kemerdekaan di Lampung yang dipimpin oleh Raden Intan II ini.  Serdadu yang didatangkan dari Batavia juga semakin banyak yaitu sejumlah seribu serdadu regular dengan kepemimpinan dibawah 350 perwira. 

Serangan besar ini melibatkan 9 buah kapal-kapal besar setype Kapal Alexander dengan dukungan 3  kapal angkut peralatan militer. Ditambah dengan puluhan perahu jung dan  mayung.  Dibantu juga dengan dukungan 30 satuan zeni. Kekuatan ini sudah hampir sama dengan kekuatan militer Belanda melawan Pangeran Diponegoro.

Sementara jumlah pasukan dibawah Raden Intan II diperkirakan lebih dari 20 ribu pasukan dengan bantuan dari berbagai daerah dan juga. Raden Intan II dann Arya Natabraja mertua Raden Intan II sendiri juga ikut menjadi komandan lapangan.  Kepemimpinan pasukan juga dibantu oleh Kiai Wakhia, Singabranta dan Wak Maas yang tetap setia mendampingi Raden Intan II dari sejak Raden Imba.

Setelah penguasaan Pulau Sikepal dan perairan di sekitar Teluk Tanjung Tua, Belanda memberikan ultimatum kepada rakyat dan Kepemimpinan Keratuan Lampung untuk menyerah paling lambat dengan tempo lima hari. Ancaman  ini tidak direspon oleh Raden Intan II.

Belanda akhirnya mulai melakukan serangan terhadap Keratuan Lampung. Serangan pertama dilancarkan ke Benteng Bendulu pada tanggal 16 Agustus 1856 karena paling berdekatan dengan laut. 

Pasukan Belanda dengan kekuatan penuh konvoi melalui Ujau (Lampung Selatan) dan Kenali (Lampung Selatan). Penyerangan pertama ini berhasil menguasai Benteng Bendulu sepanjang malam. Pasukan Raden Intan II mundur ke benteng yang lain dibawah kaki Gunung Rajabasa.

Penyerangan Belanda berlanjut ke Benteng Hawi Perak yang berada pada sebelah barat dari Benteng Bendulu yang sudah dikuasai. Pergerakan mulai dilakukan pada jam 8.00 pagi pada tanggal 18 Agustus 1856.

Raden Intan II membuat siasat dengan menyebarkan informasi seakan Benteng Bendulu kembali dikuasai oleh Pasukan Raden Intan II, sehingga Kolonel Walleson dan pasukan terkecoh dan  kembali ditarik ke Benteng Bendulu. Untuk sementara waktu  Kolonel Walleson menjadikan bent eng tersebut markas bagi pasukannya dan memperkuat koordiansi agar tidak salah menerima informasi.

Kolonel Walleson merubah rencananya yang tadinya ingin menyerang Benteng Hawi Perak dibagian barat Benteng Bendulu tetapi dirubah untuk menyerang dulu Benteng Katimbang. Melihat kondisi alam yang menguntungkan Raden  Intan II dan pasukannya, Kapten Walleson memutar otak dan menemukan ide untuk membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan pasukan. Masing-masing kekuatan pasukan bergerak kearah yang berbeda.

Kolonel Walleson memimpin pasukan pertama yang bergerak melalui pesisir selatan menuju timur Gunung Rajabasa. Setalah itu menuju utara.  Sedangkan  kelompok yang kedua  dibawah Mayor van Costade melalui pesisir selatan Pulau Palubu di Kalianda, kemudian menuju Way Urung kemudiian menuju lerang sebelah barat dan menunggu di Kelau dan Kunyaian untuk merebut Benteng Merambung. Dari sini pasukan dua ini melanjutkan menyerang Benteng Merambung. Kelompok pasukan yang  terakhir dikomandoi Mayor Nauta bergerak memasuki hutan untuk mencapai Benteng Salaitahunan, setelah itu target berikutnya benteng Katimbang.

Pada tanggal 19 Agustus 1856 terpaksa Pasukan Raden Intan II mundur dari Benteng Hawi Perak, karena banyak para prajurit yang gugur, sebagian berpindah ke benteng terdekat yang masih dikuasai.  Tetapi cuaca buruk terjadi hujan lebat dan angin yang dahsyat menyebabkan Kolonel Walleson kembali mundur ke Benteng Bendulu. Sebelum kembali Benteng Hawi Perak dibakar.

Dari Benteng Bendulu pasukan Kolonel Walleson  langsung bergabung dengan pasukan kedua dibawah Mayor van Costade yang sedang bergerak di barat lereng Gunung Rajabasa.

Pada tanggal 27 Agustus 1856 Benteng Merambung dan Pematang Sentok  jatuh ketangan Belanda di bawah Kolonel Walleson dan Van Costade.  Pertempuran paling keras terjadi di  Benteng Galah Tanah.
Pasukan Raden Intan II mempertahankan dengan gigih. Persenjataan disini juga lebih baik dengan peralatan yang lebih canggih, tetapi pada pagi hari jam 9.00 akhirnya benteng ini pun jatuh ketangan Belanda.  Tidak lama setelah itu Benteng Pematang Sentok juga ikut jatuh ketangan Belanda.

Di hari yang sama pada tanggal 27 Agustus 1856 itu juga pasukan Belanda menyerang Benteng Katimbang yang memiliki persediaan paling banyak.  Pertahanan gigih diperlihatkan pasukan Raden Intan tetapi karena kekuatan tidak seimbang terpaksan benteng ini juga akhirnya dikuasai oleh Belanda.

Setelah semua benteng jatuh ketangan Belanda, sisa-sisa pasukan Raden Intan meneruskan perlawanan gerilya dari hutan.  Bersama Haji Makhia, Singa Branta, dan Wak Maas,  Raden Intan II berjuang masuk dan keluar hutan untuk menghindari kejaran Belanda.

Kolonel Walleson  melakukan penangkapan besar-besaran terhadap rakyat dan para pejuang di Lampung. Operasi ini dilakukan disekitar Kalianda dan wilayah sekitar Gunung Rajabasa. Anak dan istri dari para prajurit Raden Intan II di penjara dan juga dibunuh.

Perjuangan  gerilya Raden Intan mampu berjalan hampir dua tahun dalam kondisi yang sangat sulit.  Selama itu juga Belanda terus melakukan pencarian. Akhirnya pada 5 Oktober 1858 Belanda melalui cara licik menipu Raden Intan melalui kerabatnya yang mengundang Raden Ngarupat makan malam.  Pada malam itu  juga Belanda langsung menyerang dan Raden Intan II bersama sisa-sisa pasukannya yang masih setia.

Raden Intan II tetap tidak mau menyerah dan terus melakukan perlawanan sampai titik penghabisan. Perkelahian yang tidak seimbang pun terjadi, tetapi seorang sosok gagah berani Raden Intan II akhirnya gugur. Pada malam yang tragis itu tubuh Raden Intan II yang sudah gugur diusung dan dipertunjukkan langsung ke Kolonel Welson.

Di hari  itu juga Raden Intan Ii gugur sebagai bukti kecintaanya pada Ibu Pertiwi pada umurnya yang masih muda. Walaupun raga sudah tiada tetapi semangat mengabdi untuk negeri tidak pernah mati. Itulah semangat yang ada pada Tugu Raden Intan II yang berdiri gagah dijantung gerbang menuju Bandar Lampung.

Jenazah Raden Intan II dimakamkan di dalam Benteng Cempaka yang dibangun bersama pengikutnya. Benteng Cempaka itu berada di Kampung Gedungharta, Kelurahan Cempaka, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan.

Tabik Pun!

Photograger : Azzahra R.
#TheIndonesiaAventure
The Indonesia Adventure Team Writter

Sumber  Pustaka :
-    http://suaraindonesiakini.blogspot.com
-    id.wikipedia.org/
-    Ensiklopedi Indonesia, Van Hoeve, PT. Ichtiar Baru, 1991.
-    Pahlawan Nasional Radin Intan II, Leaflet, Pemerintah Propinsi Lampung, Dinas Pendidikan, tahun 2004
-    Dr. R. Broersma, De Lampongsche Districten.

Tag: Raden Intan, Raden Intan II, Pahlawan Lampung Raden Intan