Catatan Sejarah Penjelajah Eropa dan Tiongkok Tentang Kapal Jung Jawa

Pada masa lalu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra dengan kekuasaan meluas melampaui wilayah kepulauan dan juga Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa dengan kekuasaannya hampir menguasai Asia Tenggara telah menjadi bukti yang cukup bahwa kemampuan bahari adalah kunci untuk mencapai wilayah luas lautan dan kepulauan di Asia Tenggara.

Replika Kapal Dinasti Sailendra di Komplek Candi Borobudur.


Dalam tulisan Francois Rabelais yang berasal Prancis dan hidup pada abad 16, mendiskripsikan kemampuan masyarakat di Nusantara pada masa lalu dalam membuat kapal-kapal besar yang dia sebut sebagai "gargantua."  

Istilah gargantua merujuk pada makna atau ilustrasi sebagai raksasa yang sangat besar dan rakus. Istilah gargantua dapat dilihat pada kamus Merriam-Webster yang menyebutkan bahwa gargantua ada dalam istilah di bahasa Portugis, tetapi istilah itu bukan orisinil dari Portugis karena merupakan kata serapan dari bahasa Berber di Afrika Utara.
 
Bahasa Melayu dari sejak Pra Indonesia  juga sudah menyerap istilah gargantua tetapi agak berbeda, yaitu  "gergasi" dengan arti yang sama dengan gargantuan dalam bahasa Barber, Afrika Utara. 

Budaya semangat maritime yang ada pada Pra Hindia Belanda di wilayah laut dan  kepulauan Indonesia saat ini itu sudah ada sejak sebelum dan awal penanggalan masehi. Salah satu bukti bahwa semangat maritime itu sudah ada adalah adanya relief kapal besar pada batu candi Borobudur yang dapat dilihat sampai saat ini.

Kapal Majapahit dalam relief Candi Borobudur.
Kapal Majapahit dalam relief Candi Borobudur.



Francois Rabelais menggambarkan kapal yang digunakan pada masa lalu di Nusantara itu sebagai gargantuan tidak lain adalah kapal “Jung” yang biasa dibuat oleh orang Jawa pada masa lalu. Dalam bahasa Melayu yang penggunanya banyak di Pulau Sumatra pada masa lalu dan sampai sekarang ini menyebutnya dengan istilah “Jong”, sedangkan orang Portugis yang sudah ada di Nusantara pada masa lalu menyebutnya dengan sebutan “Junco”. Orang Arab yang juga sudah datang ke Nusantara menyebutnya dengan “j-n-k”, pengucapannya mirip dengan orang Iberia.

Dalam bukunya Denys Lombard,  Nusajawa: Jaringan Asia yang diterbitkan tahun 2004 menyebut istilah "jung" berasal dari Asia Tenggara. Lombard juga menyebut “jung” sebagai kapal raksasa. Para Penjelajah Eropa menyebut wilayah perairan yang digunakan kapal Jung/Jong sebagai perairan “kun-kun” atau disebut sebagai Laut Selatan. Penyebutan Laut Selatan juga digunakan oleh para penulis dari Tiongkok.

Dalam catatan Tome Pires seorang penjelajah Portugis lainnya penggunaan kapal jung sebagai kapal armada pasukan laut Pati Unus yang tidak lain adalah seorang raja kerajaan Demak yang kedua. Tome Pires mencatat kapal Pati Unus memiliki kemampuan untuk menampung sekitar seribu penumpang.

Penulis lain yang masih semasa dengan Denys Lombard , yaitu Pierre-Yves Manguin juga pernah menulis khusus tentang "jung".  Menurut Manguin, kapal-kapa raksasa dari Jawa itu diproduksi dari galangan-galangan kapal yang dekat dengan kawasan hutan jati di Cirebon, Jepara, dan Tuban. 

Catatan lainnya mengenai kapal jung juga ada dari catatan Ptolemy yang jauh lebih tua. Dalam tulisan yang diperkirakan pada tahun 100 Masehi. Catatan itu berjudul:  “Periplus Marae Erythraensis (catatan laut bagian terluar)”.  Catatan dari Tiongkok berasal dari Wan Chen yang member judul tulisannya itu “Hal-Hal Aneh dari Selatan”.  Wan Chen mendiskripsikan kapal jung mampu membawa 700 orang penumpang, berikut dengan muatan kargo sampai dengan 10.000 kargo (250-1000 ton), panjangnya sampai 50 meter dan tingginya 4 hingga 7 meter. Wan Chen dalam tulisannya memastikan bahwa kapal itu bukan dari Tiongkok tetapi berasal dari “Kun-lun” (selatan).  

Dalam catatan hikayat dari Raja-raja Pasai menyebutkan, Kerajaan Majapahit menggunakan "jung" secara masif untuk kekuatan armada maritime. Mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar "jung" Majapahit mencapai 400 kapal, disertai jenis Malangbang dan Kelulus yang tak terhitung banyaknya.

Gaspar Correia, penulis sejarah abad 16 dari Portugis mencatat tentang pertemuan Alfonso Albuquerque dengan kapal raksasa Majapahit yang terjadi di Selat Malaka. Pramoedya menyebut, nama kapten terkenal Portugis itu berdasarkan penamaan orang Jawa pesisir yakni "Kongso Dalbi". Catatan Gaspar itu menyebutkan bahwa kapal raksasa itu tidak mempan ditembak meriam yang terbesar. Hanya dua lapis papan yang bisa ditembus dari empat lapis papan kapal itu. Saat kapten mencoba untuk menaikinya bagian belakang kapal Flor de la Mar tidak bisa mencapai jembatannya.

Pelaut dari Portugis Alfonso Albuquerque sendiri juga memiliki catatan terkait kapal jung dari Jawa ini. Alfonso Albuquerque menggambarkan kapal jung memiliki empat tiang layar dan memilikii bobot sampai dengan 600 ton.  Kapal terbesar dalam catatannya dimiliki oleh Kerajaan Demak yang bobotnya mencapai 1.000 ton.

Penulis Portugis lain Fernao Pires de Andrade merangkum catatan dari Tome Pires, menjelaskan pembuatan kapal jung itu membutuhkan waktu sampai tiga tahun. Bahkan penjelajah Albuquerque juga ikut mempekerjakan 60 tukang kayu dari Jawa untuk merancang kapal. Para ahli kapal dari Jawa itu sebelumnya adalah bekerja di Malaka.

Penulis dan juga seorang pedagang Italia, Giovanni da Empoli, mendiskripsikan kapal jung dalam surat-suratnya bahwa kapal jung tidak berbeda dengan sebuah  benteng, karena memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. 

Kapal Terbesar Jung Jawa Pernah Dibuat Kerajaan Demak

Setelah kekuatan Majapahit mampu diruntuhkan Kesultanan Demak. Raden Fatah segera melakukan penataan pemerintahan yang lebih baik dan membangun kekuatan militer yang berbasis maritim yang kuat dan disegani. Upaya itu diteruskan oleh Pati Unus. Praktis kekuatan Demak menjadi kekuatan militer dengan kekuatan maritim yang terkenal. 
 
Kekuatan armada maritim Demak ini menjadi dayatarik bagi tempat lain untuk menjalin kerjasama. Salah satunya adalah kerjasama dengan Kerajaan Malaka di utara barat Sumatra. Kerjasama ini terbukti bermanfaat saat terjadi serangan armada Portugis ke Malaka.
 
Kesultanan Demak telah mempersiapkan kapal canggih dan besar seperti kapal induk saat ini, yaitu kapal super besar Jung Jawa untuk mengangkut pasukan yang besar pada tahun 1513.  Kekuatan armada ini sebanyak 35 kapal jung besar yang masing-masing  mampu menampung beban 500 ton.
 
Penggambaran kapal Jung Jawa dapat dibaca dari surat Fernao Peres de Andrade yang menjadi Komandan Armada Portugis di Malaka. Surat tersebut ditulis ditahun 1513 kepada Afonso de Albuquerque.
 
Isi surat  Fernao Peres de Andrade sebagai berikut ini:
“Kapal Jung adalah suatu yang menakjubkan. Kapal Anunciada yang dekat dengannya sama sekali tak terlihat sebagai kapal karena ukurannya amat kecil jika dibandingkan dengan Jung itu. Kami menyerangnya dengan meriam besar, tetapi tembakan tersebut tak dapat melubanginya di bawah garis air, dan tembakan espera juga tidak dapat tembus; pada jung itu terdapat tiga susunan, semuanya lebih tebal daripada satu cruzado. Kapal Jung itu pasti begitu besar dan dahsyat, dan untuk membangun kapal itu perlu tiga tahun.”

Kapal Anunciada seperti dalam penjelasan dalam surat Fernao Peres de Andrade adalah kapal terbesar yang dimiliki oleh Portugis.  Kemudian ada istilah espera yang maksudnya berupa meriam yang paling canggih yang dimiliki oleh Armada Portugis di Malaka. Ukuran satu cruzado maksudnya adalah ukuran dari uang koin Portugis yang berdiameter 3,8 cm.

Kapal Jung Jawa Pada Masa Lalu Sering Menjelajah Tanjung Harapan Afrika
 
Bukan sekedar ukurannya yang besar kapal Jung Jawa juga memiliki kemampuan jelajah yang sangat jauh. Bobot yang besar mampu menampung logistik yang juga besar, sehingga dapat digunakan untuk berlayar dalam waktu yang cukup lama di lautan. 
 
Penjelajahan itu bahkan sampai ke Afrika, tepatnya ke Tanjung Harapan. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang Jawa yang memilih tinggal dan menetap di Madagaskar. Hal ini diperkuat oleh tulisan Diego de Couto dalam buku Da Asia, terbit di tahun 1645. Ia menjelaskan dalam bukunya; “Penduduk asli Madagaskar awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. Mereka mengaku keturunan Jawa."
 
Ahli Maritim Jawa Masa Lalu Memiliki Kemampuan Navigasi dan Pembuatan Peta
 
Selain kemampuan membuat kapal kekuatan armada Demak dan juga kerajaan pendahulunya yaitu Kerajaan Majapahit yang kekuasaanya sangat luas melampaui kepulauan yang banyak, tentu juga dibekali oleh keahlian  ilmu navigasi dan kemampuan untuk membuat peta. Bukti ini dapat dilihat dalam surat yang ditulis oleh Afonso de Albuquerque untuk Raja Portugal yaitu Manuel I pada bulan April tahun1512.

Afonso de Albuquerque menuliskan sebagai berikut:
 "... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gom, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya saya orang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, pulau Jawa dan Banda, tindakan seperiodenya, dari siapa pun sezamannya, dan tampaknya sangat mungkin bahwa apa yang dia katakan adalah benar..."

Informasinya didapat dari buku Diogo de Couto yang berjudul: "Da Asia".  Buku tersebut diterbitkan tahun 1645. Dalam buku tersebut menjelaskan tetang kemampuan dan keahlian navigasi orang Jawa sebagai berikut ini:
"Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa."
 
Itulah kehebatan dari bangsa kita di Nusantara ini, sehingga wajar kalau ada lagu: "Nenek moyangku orang pelaut...".  Semoga budaya maritim tersebut dapat muncul lagi di masa kini. 
 
 Sumber Referensi :
- indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/jong-sang-gargantua-dari-laut-jawa
- id.wikipedia.org/wiki/Pati_Unus
- Pires, Tome. Suma Oriental. London: The Hakluyt Society.
- Manguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11: 266–276 – via JSTOR. 
- www.bi.go.id/id/tentang-bi/museum/info/berita-khusus/Pages/Jung-Jawa-yang-Terlupakan.aspx.

#TheIndonesiaAdventure
The Indonesia Adventure Team Writter

Tag. :  Kapal Jung, Jawa, Malaka, Orang Jawa, Demak, Kesultanan Demak, Majapahit, Jong Ship, Gargantua, Maritim, Majapahit Ship, Sriwijaya Ship, Demak Ship, Jung Ship History, kapal, maritim, sejarah maritim, Relief Kapal pada Candi Borobudur, Kapal Jung Jawa